Wednesday, March 07, 2007

A to Z...

A : Accept. Terimalah diri anda sebagaimana adanya.

B : Believe. Percayalah terhadap kemampuan anda untuk meraih apa
yang anda inginkan dalam hidup.

C : Care. Pedulilah pada kemampuan anda meraih apa yang anda
inginkan dalam hidup.

D : Direct. Arahkan pikiran pada hal-hal positif yang meningkatkan
kepercayaan diri.

E : Earn. Terimalah penghargaan yang diberi orang lain dengan tetap
berusaha menjadi yang terbaik.

F : Face. Hadapi masalah dengan benar dan yakin.

G : Go. Berangkatlah dari kebenaran.

H : Homework. Pekerjaan rumah adalah langkah penting untuk
pengumpulan informasi.

I : Ignore. Abaikan celaan orang yang menghalangi jalan anda
mencapai tujuan.

J : Jealously. Rasa iri dapat membuat anda tidak menghargai
kelebihan anda sendiri.

K : Keep. Terus berusaha walaupun beberapa kali gagal.

L : Learn. Belajar dari kesalahan dan berusaha untuk tidak
mengulanginya.

M : Mind. Perhatikan urusan sendiri dan tidak menyebar gosip
tentang orang lain.

N : Never. Jangan terlibat skandal seks, obat terlarang, dan
alkohol.

O : Observe. Amatilah segala hal di sekeliling anda. Perhatikan,
dengarkan, dan belajar dari orang lain.

P : Patience. Sabar adalah kekuatan tak ternilai yang membuat anda
terus berusaha.

Q : Question. Pertanyaan perlu untuk mencari jawaban yang benar dan
menambah ilmu.

R : Respect. Hargai diri sendiri dan juga orang lain.

S : Self confidence, self esteem, self respect. Percaya diri,
harga diri, citra diri, penghormatan diri akan membebaskan kita
dari saat-saat tegang.

T : Take. Bertanggung jawab pada setiap tindakan anda.

U : Understand. Pahami bahwa hidup itu naik turun, namun tak ada
yang dapat mengalahkan anda.

V : Value. Nilai diri sendiri dan orang lain, berusahalah
melakukan yang terbaik.

W : Work. Bekerja dengan giat, jangan lupa berdo'a.

X : X'tra. Usaha lebih keras membawa keberhasilan.

Y : You. Anda dapat membuat suatu yang berbeda.

Z : Zero. Usaha nol membawa hasil nol pula.

Makna Kepemimpinan

Oleh: Aribowo Prijosaksono dan Roy Sembel
Dari up your business Now!

Topik kali ini sengaja dipilih untuk merenungkan kembali makna kepemimpinan
yang sejati. Kepemimpinan sering diartikan dengan jabatan formal, yang
justru menuntut untuk mendapat fasilitas dan pelayanan dari konstituen yang
seharusnya dilayani. Meskipun banyak di antara pemimpin atau pejabat yang
ketika dilantik mengatakan bahwa jabatan adalah sebuah amanah, namun dalam
kenyataannya sedikit sekali atau bisa dikatakan hampir tidak ada pemimpin
yang sungguh-sungguh menerapkan kepemimpinan dari hati, yaitu kepemimpinan
yang melayani.

Sebuah buku yang menarik tentang kepemimpinan yang melayani (servant
leadership) ditulis oleh Dr. Kenneth Blanchard dan kawan kawan, berjudul
Leadership by The Book (LTB). Ken Blanchard adalah juga co-author dari
buku-buku manajemen yang sangat laris, seperti The One Minute Manager,
Raving Fans, Gung Ho, dan Everyone's Coach. Buku LTB mengisahkan tentang
tiga orang karakter yang mewakili tiga aspek kepemimpinan yang melayani,
yaitu seorang pendeta, seorang professor, dan seorang profesional yang
sangat berhasil di dunia bisnis. Tiga aspek kepemimpinan tersebut adalah
HATI yang melayani (servant HEART), KEPALA atau pikiran yang melayani
(servant HEAD), dan TANGAN yang melayani (servant HANDS).

Hati Yang Melayani (Karakter Kepemimpinan)

Kepemimpinan yang melayani dimulai dari dalam diri kita. Kepemimpinan
menuntut suatu transformasi dari dalam hati dan perubahan karakter.

Kepemimpinan sejati dimulai dari dalam dan kemudian bergerak ke luar untuk
melayani mereka yang dipimpinnya. Disinilah pentingnya karakter dan
integritas seorang pemimpin untuk menjadi pemimpin sejati dan diterima oleh
rakyat yang dipimpinnya. Kembali betapa banyak kita saksikan para pemimpin
yang mengaku wakil rakyat ataupun pejabat publik, justru tidak memiliki
integritas sama sekali, karena apa yang diucapkan dan dijanjikan ketika
kampanye dalam Pemilu tidak sama dengan yang dilakukan ketika sudah duduk
nyaman di kursinya.

Paling tidak menurut Ken Blanchard dan kawan-kawan, ada sejumlah ciri-ciri
dan nilai yang muncul dari seorang pemimpin yang memiliki hati yang
melayani, yaitu:

Tujuan paling utama seorang pemimpin adalah melayani kepentingan mereka yang
dipimpinnya. Orientasinya adalah bukan untuk kepentingan diri pribadi maupun
golongannya tetapi justru kepentingan publik yang dipimpinnya. Entah hal ini
sebuah impian yang muluk atau memang kita tidak memiliki pemimpin seperti
ini, yang jelas pemimpin yang mengutamakan kepentingan publik amat jarang
kita temui di republik ini.

Seorang pemimpin sejati justru memiliki kerinduan untuk membangun dan
mengembangkan mereka yang dipimpinnya sehingga tumbuh banyak pemimpin dalam
kelompoknya. Hal ini sejalan dengan buku yang ditulis oleh John Maxwell
berjudul Developing the Leaders Around You.

Keberhasilan seorang pemimpin sangat tergantung dari kemampuannya untuk
membangun orang-orang di sekitarnya, karena keberhasilan sebuah organisasi
sangat tergantung pada potensi sumber daya manusia dalam organisasi
tersebut. Jika sebuah organisasi atau masyarakat mempunyai banyak anggota
dengan kualitas pemimpin, organisasi atau bangsa tersebut akan berkembang
dan menjadi kuat.

Pemimpin yang melayani memiliki kasih dan perhatian kepada mereka yang
dipimpinnya. Kasih itu mewujud dalam bentuk kepedulian akan kebutuhan,
kepentingan, impian dan harapan dari mereka yang dipimpinnya.
Ciri keempat seorang pemimpin yang memiliki hati yang melayani adalah
akuntabilitas (accountable).

Istilah akuntabilitas adalah berarti penuh tanggung jawab dan dapat
diandalkan. Artinya seluruh perkataan, pikiran dan tindakannya dapat
dipertanggungjawabkan kepada publik atau kepada setiap anggota
organisasinya.

Pemimpin yang melayani adalah pemimpin yang mau mendengar. Mau mendengar
setiap kebutuhan, impian dan harapan dari mereka yang dipimpinnya.
Pemimpin yang melayani adalah pemimpin yang dapat mengendalikan ego dan
kepentingan pribadinya melebihi kepentingan publik atau mereka yang
dipimpinnya. Mengendalikan ego berarti dapat mengendalikan diri ketika
tekanan maupun tantangan yang dihadapi menjadi begitu berat. Seorang
pemimpin sejati selalu dalam keadaan tenang, penuh pengendalian diri dan
tidak mudah emosi.

Kepala Yang Melayani (Metoda Kepemimpinan)

Seorang pemimpin sejati tidak cukup hanya memiliki hati atau karakter
semata, tetapi juga harus memiliki serangkaian metoda kepemimpinan agar
dapat menjadi pemimpin yang efektif. Banyak sekali pemimpin memiliki
kualitas dari aspek yang pertama, yaitu karakter dan integritas seorang
pemimpin, tetapi ketika menjadi pemimpin formal, justru tidak efektif sama
sekali karena tidak memiliki metoda kepemimpinan yang baik.

Contoh adalah para pemimpin karismatik ataupun pemimpin yang menjadi simbol
perjuangan rakyat, seperti Corazon Aquino, Nelson Mandela, Abdurrahman
Wahid, bahkan mungkin Mahatma Gandhi, dan masih banyak lagi menjadi pemimpin
yang tidak efektif ketika menjabat secara formal menjadi presiden. Hal ini
karena mereka tidak memiliki metoda kepemimpinan yang diperlukan untuk
mengelola mereka yang dipimpinnya.

Tidak banyak pemimpin yang memiliki kemampuan metoda kepemimpinan ini.

Karena hal ini tidak pernah diajarkan di sekolah-sekolah formal. Oleh karena
itu seringkali kami dalam berbagai kesempatan mendorong institusi formal
agar memperhatikan ketrampilan seperti ini yang kami sebut dengan softskill
atau personal skill. Dalam salah satu artikel di economist.com ada sebuah
ulasan berjudul Can Leadership Be Taught. Jelas dalam artikel tersebut
dibahas bahwa kepemimpinan (dalam hal ini metoda kepemimpinan) dapat
diajarkan sehingga melengkapi mereka yang memiliki karakter kepemimpinan.

Ada tiga hal penting dalam metoda kepemimpinan, yaitu:

Kepemimpinan yang efektif dimulai dengan visi yang jelas.Visi ini merupakan
sebuah daya atau kekuatan untuk melakukan perubahan, yang mendorong
terjadinya proses ledakan kreatifitas yang dahsyat melalui integrasi maupun
sinergi berbagai keahlian dari orang-orang yang ada dalam organisasi
tersebut.

Bahkan dikatakan bahwa nothing motivates change more powerfully than a clear
vision. Visi yang jelas dapat secara dahsyat mendorong terjadinya perubahan
dalam organisasi. Seorang pemimpin adalah inspirator perubahan dan visioner,
yaitu memiliki visi yang jelas kemana organisasinya akan menuju.

Kepemimpinan secara sederhana adalah proses untuk membawa orang-orang atau
organisasi yang dipimpinnya menuju suatu tujuan (goal) yang jelas. Tanpa
visi, kepemimpinan tidak ada artinya sama sekali. Visi inilah yang mendorong
sebuah organisasi untuk senantiasa tumbuh dan belajar, serta berkembang
dalam mempertahankan survivalnya sehingga bisa bertahan sampai beberapa
generasi.

Ada dua aspek mengenai visi, yaitu visionary role dan implementation role.
Artinya seorang pemimpin tidak hanya dapat membangun atau menciptakan visi
bagi organisasinya tetapi memiliki kemampuan untuk mengimplementasikan visi
tersebut ke dalam suatu rangkaian tindakan atau kegiatan yang diperlukan
untuk mencapai visi itu.

Seorang pemimpin yang efektif adalah seorang yang sangat responsive. Artinya
dia selalu tanggap terhadap setiap persoalan, kebutuhan, harapan dan impian
dari mereka yang dipimpinnya. Selain itu selalu aktif dan proaktif dalam
mencari solusi dari setiap permasalahan ataupun tantangan yang dihadapi
organisasinya.

Seorang pemimpin yang efektif adalah seorang pelatih atau pendamping bagi
orang-orang yang dipimpinnya (performance coach). Artinya dia memiliki
kemampuan untuk menginspirasi, mendorong dan memampukan anak buahnya dalam
menyusun perencanaan (termasuk rencana kegiatan, target atau sasaran,
rencana kebutuhan sumber daya, dan sebagainya), melakukan kegiatan
sehari-hari (monitoring dan pengendalian), dan mengevaluasi kinerja dari
anak buahnya.

Tangan Yang Melayani (Perilaku Kepemimpinan)

Pemimpin sejati bukan sekedar memperlihatkan karakter dan integritas, serta
memiliki kemampuan dalam metoda kepemimpinan, tetapi dia harus menunjukkan
perilaku maupun kebiasaan seorang pemimpin. Dalam buku Ken Blanchard
tersebut disebutkan ada empat perilaku seorang pemimpin, yaitu:

Pemimpin tidak hanya sekedar memuaskan mereka yang dipimpinnya, tetapi
sungguh-sungguh memiliki kerinduan senantiasa untuk memuaskan Tuhan. Artinya
dia hidup dalam perilaku yang sejalan dengan Firman Tuhan. Dia memiliki misi
untuk senantiasa memuliakan Tuhan dalam setiap apa yang dipikirkan,
dikatakan dan diperbuatnya.

Pemimpin sejati fokus pada hal-hal spiritual dibandingkan dengan sekedar
kesuksesan duniawi. Baginya kekayaan dan kemakmuran adalah untuk dapat
memberi dan beramal lebih banyak. Apapun yang dilakukan bukan untuk mendapat
penghargaan, tetapi untuk melayani sesamanya. Dan dia lebih mengutamakan
hubungan atau relasi yang penuh kasih dan penghargaan, dibandingkan dengan
status dan kekuasaan semata.

Pemimpin sejati senantiasa mau belajar dan bertumbuh dalam berbagai aspek,
baik pengetahuan, kesehatan, keuangan, relasi, dan sebagainya.
Setiap hari senantiasi menselaraskan (recalibrating) dirinya terhadap
komitmen untuk melayani Tuhan dan sesama. Melalui solitude (keheningan),
prayer (doa) dan scripture (membaca Firman Tuhan).

Demikian kepemimpinan yang melayani menurut Ken Blanchard yang menurut kami
sangat relevan dengan situasi krisis kepemimpinan yang dialami oleh bangsa
Indonesia. Bahkan menurut Danah Zohar, penulis buku Spiritual Intelligence:

SQ the Ultimate Intelligence, salah satu tolok ukur kecerdasan spiritual
adalah kepemimpinan yang melayani (servant leadership).

Bahkan dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Gay Hendrick dan Kate
Luderman, menunjukkan bahwa pemimpin-pemimpin yang berhasil membawa
perusahaannya ke puncak kesuksesan biasanya adalah pemimpin yang memiliki SQ
yang tinggi. Mereka biasanya adalah orang-orang yang memiliki integritas,
terbuka, mampu menerima kritik, rendah hati, mampu memahami orang lain
dengan baik, terinspirasi oleh visi, mengenal dirinya sendiri dengan baik,
memiliki spiritualitas yang tinggi, dan selalu mengupayakan yang terbaik
bagi diri mereka sendiri maupun bagi orang lain.

Bergerak !

Oleh: Rhenald Kasali
www.detik.com

“Sebagian besar orang yang melihat belum tentu bergerak, dan yang bergerak belum tentu menyelesaikan (perubahan).”

Kalimat ini mungkin sudah pernah Anda baca dalam buku baru Saya, “ChaNge”. Minggu lalu, dalam sebuah seminar yang diselenggarakan Indosat, iseng-iseng Saya mengeluarkan dua lembaran Rp 50.000. Di tengah-tengah ratusan orang yang tengah menyimak isi buku, Saya tawarkan uang itu. “Silahkan, siapa yang mau boleh ambil,” ujar Saya. Saya menunduk ke bawah menghindari tatapan ke muka audiens sambil menjulurkan uang Rp 100.000.

Seperti yang Saya duga, hampir semua audiens hanya diam terkesima. Saya ulangi kalimat Saya beberapa kali dengan mimik muka yang lebih serius. Beberapa orang tampak tersenyum, ada yang mulai menarik badannya dari sandaran kursi, yang lain lagi menendang kaki temannya. Seorang ibu menyuruh temannya maju, tetapi mereka semua tak bergerak. Belakangan, dua orang pria maju ke depan sambil celingak-celinguk.

Orang yang maju dari sisi sebelah kanan mulanya bergerak cepat, tapi ia segera menghentikan langkahnya dan termangu, begitu melihat seseorang dari sisi sebelah kiri lebih cepat ke depan. Ia lalu kembali ke kursinya. Sekarang hanya tinggal satu orang saja yang sudah berada di depan Saya. Gerakannya begitu cepat, tapi tangannya berhenti manakala uang itu disentuhnya. Saya dapat merasakan tarikan uang yang dilakukan dengan keragu-raguan. Semua audiens tertegun.

Saya ulangi pesan Saya, “Silahkan ambil, silahkan ambil.” Ia menatap wajah Saya, dan Saya pun menatapnya dengan wajah lucu. Audiens tertawa melihat keberanian anak muda itu. Saya ulangi lagi kalimat Saya, dan Ia pun merampas uang kertas itu dari tangan Saya dan kembali ke kursinya. Semua audiens tertawa terbahak-bahak. Seseorang lalu berteriak, “Kembalikan, kembalikan!” Saya mengatakan, “Tidak usah. Uang itu sudah menjadi miliknya.”

Setidaknya, dengan permainan itu seseorang telah menjadi lebih kaya Rp.100.000. Saya tanya kepada mereka, mengapa hampir semua diam, tak bergerak. Bukankah uang yang Saya sodorkan tadi adalah sebuah kesempatan? Mereka pun menjawab dengan berbagai alasan:

“Saya pikir Bapak cuma main-main ............”
“Nanti uangnya toh diambil lagi.”
“Malu-maluin aja.”
“Saya tidak mau kelihatan nafsu. Kita harus tetap terlihat cool!”
“Saya enggak yakin bapak benar-benar akan memberikan uang itu .....”
“Pasti ada orang lain yang lebih membutuhkannya....”
“Saya harus tunggu dulu instruksi yang lebih jelas.....”
“Saya takut salah, nanti cuma jadi tertawaan doang.........”
“Saya, kan duduk jauh di belakang...”
dan seterusnya.

Saya jelaskan bahwa jawaban mereka sama persis dengan tindakan mereka sehari-hari. Hampir setiap saat kita dilewati oleh rangkaian opportunity (kesempatan), tetapi kesempatan itu dibiarkan pergi begitu saja. Kita tidak menyambarnya, padahal kita ingin agar hidup kita berubah. Saya jadi ingat dengan ucapan seorang teman yang dirawat di sebuah rumah sakit jiwa di daerah Parung. Ia tampak begitu senang saat Saya dan keluarga membesuknya. Sedih melihat seorang sarjana yang punya masa depan baik terkerangkeng dalam jeruji rumah sakit bersama orang-orang tidak waras. Saya sampai tidak percaya ia berada di situ. Dibandingkan teman-temannya, ia adalah pasien yang paling waras. Ia bisa menilai ”gila” nya orang di sana satu persatu dan berbicara waras dengan Saya. Cuma, matanya memang tampak agak merah. Waktu Saya tanya apakah ia merasa sama dengan mereka, ia pun protes. ”Gila aja....ini kan gara-gara saudara-saudara Saya tidak mau mengurus Saya. Saya ini tidak gila. Mereka itu semua sakit.....”. Lantas, apa yang kamu maksud ’sakit’?”

”Orang ’sakit’ (gila) itu selalu berorientasi ke masa lalu, sedangkan Saya selalu berpikir ke depan. Yang gila itu adalah yang selalu mengharapkan perubahan, sementara melakukan hal yang sama dari hari ke hari.....,” katanya penuh semangat.” Saya pun mengangguk-angguk.

Pembaca, di dalam bisnis, gagasan, pendidikan, pemerintahan dan sebagainya, Saya kira kita semua menghadapi masalah yang sama. Mungkin benar kata teman Saya tadi, kita semua mengharapkan perubahan, tapi kita tak tahu harus mulai dari mana. Akibatnya kita semua hanya melakukan hal yang sama dari hari ke hari, Jadi omong kosong perubahan akan datang. Perubahan hanya bisa datang kalau orang-orang mau bergerak bukan hanya dengan omongan saja.

Dulu, menjelang Soeharto turun orang-orang sudah gelisah, tapi tak banyak yang berani bergerak. Tetapi sekali bergerak, perubahan seperti menjadi tak terkendali, dan perubahan yang tak terkendali bisa menghancurkan misi perubahan itu sendiri, yaitu perubahan yang menjadikan hidup lebih baik. Perubahan akan gagal kalau pemimpin-pemimpinnya hanya berwacana saja. Wacana yang kosong akan destruktif.

Manajemen tentu berkepentingan terhadap bagaimana menggerakkan orang-orang yang tidak cuma sekedar berfikir, tetapi berinisiatif, bergerak, memulai, dan seterusnya. Get Started. Get into the game. Get into the playing field, Now. Just do it!. Janganlah mereka dimusuhi, jangan inisiatif mereka dibunuh oleh orang-orang yang bermental birokratik yang bisanya cuma bicara di dalam rapat dan cuma membuat peraturan saja. Makanya tranformasi harus bersifat kultural, tidak cukup sekedar struktural. Ia harus bisa menyentuh manusia, yaitu manusia-manusia yang aktif, berinisiatif dan berani maju. Manusia pemenang adalah manusia yang responsif. Seperti kata Jack Canfield, yang menulis buku Chicken Soup for the Soul, yang membedakan antara winners dengan losers adalah “Winners take action…they simply get up and do what has to be done…”. Selamat bergerak!

Tuesday, March 06, 2007

Terlalu Banyak Informasi Bikin Pusing

Dewasa ini kita begitu dibanjiri informasi.Hebatnya, sebuah informasi yang dulunya begitu sulit didapat, sekarang tidak lagi. Tinggal klik, ratusan informasi berkaitan dengannya segera didapat.

Information is power. Saya setuju. Di era informasi ini, tidak heran lagi kita melihat orang-orang umur dua puluhan atau belasan tahun sudah bisa meraih sukses begitu fantastis. Ya, semua itu dimungkinkan saat ini.

Ketergantungan kita terhadap informasi begitu tinggi. Bagaimana rasanya kalau sehari aja nggak buka internet, download email, baca berita koran? Nggak enak kan?

Masalahnya sekarang adalah, informasi itu menjadi berlimpah, overloaded. Saat ini begitu banyak yang harus kita ingat, bukan lagi nomor KTP dan SIM saja, tapi segala macam kode PIN, nomor telepon, password, user name, alamat email dan sebagainya.

Bagaimana sikap kita terhadap banjirnya informasi ini? Terus mengikutinya, atau malah jadi terbebani dengannya. Len Riggio, CEO Barnes and Noble meramalkan, di abad ke-21 ini orang akan menelan obat untuk membantu mengosongkan pikiran. Ini nanti akan jadi tren, seperti menurunkan berat badan dan diet.

Bagi seorang entrepreneur, informasi itu jelas penting. Di balik informasi itu tersimpan gunung emas. Tapi, seperti yang saya alami, kelebihan informasi seperti saat ini bikin pusing juga. Karena, nggak semuanya bisa kita follow up jadi duit. Malah, sering membuat fokus kita buyar. Kita berlari menembak ke segala arah. Hasilnya? Banyak sasaran yang lolos.

Saya sendiri memilih bersikap hati-hati terhadap semua informasi yang didapat. Saya berusaha menarik diri dari informasi itu, bersikap netral, sedikit skeptis. Setelah itu barulah saya memutuskan apakah informasi itu berguna untuk ditindaklanjuti atau tidak.

Saya pun saat ini membatasi informasi yang masuk ke dalam otak saya. Saya tidak baca koran harian, saya tidak ikut banyak mailing list, saya alihkan saluran TV ke saluran berlangganan karena saya muak dengan TV lokal yang banyak berisikan materi "sampah". Saat browsing internet, saya fokus ke beberapa situs yang memang benar-benar sesuai dengan aktivitas saya. Beberapa gadget seperti pocket PC juga mulai saya tinggalkan. Paling tidak, itu upaya saya untuk menghindari penyakit "overload informasi" ini.

Ada kerabat saya yang mengalami stress berat karena kelebihan informasi ini. Ceritanya, dia dideteksi dokter ada penyakit yang diakibatkan oleh gaya hidup dan pola kerjanya sehari-hari. Tapi, kerabat ini tidak puas dengan informasi dokter itu saja. Dia browsing internet mengenai segala pertanyaan yang berkaitan dengan penyakitnya itu. Hasilnya, dia menjadi stress berat. Dia pun menjajal beberapa dokter lain untuk mempercepat penyembuhan dan memenuhi keingintahuannya ini. Alhasil, dia pun mengalami over dosis obat, kelebihan obat.

Saya kira di bisnis pun begitu. Kita terus mencari informasi yang penting buat mengembangkan bisnis kita. Oke-oke aja sih. Tapi, kalau akhirnya malah jadi pusing dan nggak tahu apa yang musti dilakukan, buat apa?

Seni mengosongkan pikiran. Itu salah satu jawabnya menurut saya. Kita harus pintar memilah-milah informasi yang masuk ke dalam otak kita. Kemudian membuang yang tidak perlu. Lebih baik yang masuk sedikit saja, tapi benar-benar berguna ketimbang banyak sehingga overload. Padahal itu semua ternyata kebanyakan adalah "sampah".

Sumber : Badroni Yuzirman

Uang...Lagi-lagi Uang...

Banyak diantara kita, setiap hari hanya memikirkan masalah: UANG.
Entah itu bagaimana mencari uang, merasa tidak punya uang, punya
hutang uang, dan sebagainya. Bahkan banyak diantara kita
memikirkan "persoalan" uang sejak bangun tidur hingga tidur lagi,
malah mungkin dalam mimpinya pun masih memikirkan uang. Suatu
kondisi mental yang dapat digambarkan sebagai men-dewa kan UANG.
Kalau saya di depan Anda mengatakan "mau UANG?", sambil mengibas2kan
segepok seratus ribuan, pasti Anda deg2 an sambil mata Anda melirik
UANG di tangan saya.

Namun pernahkah kita sedikit berpikir apakah sesungguhnya uang itu?
Kalau dilihat dari sejarahnya, pada mula nya uang adalah alat bantu
untuk memudahkan manusia melakukan pertukaran barang dan jasa.
Ingat, awalnya manusia hanya mengenal system barter. Kambing ditukar
beras, alat pertanian ditukar tembikar, dst. Ketidakpraktisan ini
kemudian dipecahkan dengan menggunakan alat tukar yang dianggap
memiliki nilai, yaitu dengan keping logam emas atau perak. 2 keping
emas dapat ditukar 1 domba ataupun 1 pikul beras. Inipun kemudian
dianggap masih kurang praktis. Lahir lah ide membuat sebuar
rumah "penitipan" keping emas atau perak tadi, dan kemudian rumah
penitipan (bank house) tadi mengeluarkan surat yang menyatakan bahwa
sipembawa surat memiliki emas atau perak sebesar yang tertera dalam
surat tadi. Praktis, tidak perlu bawa2 emas dan perak, cukup bayar
pakai kertas (bank notes). Dan kalau perlu "cash", kertas tadi bisa
ditukar kembali ke bank.

Sistem ini berjalan cukup lama, dan tidak ada persoalan besar,
karena nilai yang tertera dalam kertas sama dengan nilai deposit
emas. Bank central pun disebut "Reserve" karena menjadi tempat
penyimpanan akhir deposit emas di seluruh negeri. Sampai disini
masih OK, karena apa yang tertera dalam bank notes (uang) "dijamin"
emas/ perak yang diwakili nya.

Namun apa yg terjadi berikutnya? Kita ambil contoh mata UANG yang
paling di-dewa kan di dunia. US Dollar. Sekelompok orang kreatif
(atau serakah ya?) di Amerika Serikat mendirikan Federal Reserve.
Ada yang aneh dari nama the Fed ini:
- meski pakai nama "Federal", ini adalah perusahaan yang didirikan
dan dimiliki swasta. Untuk menghaluskan, pemerintah AS sering
menyebutnya "quasi-federal body".(iyee deeh ... paling bisa nih
bikin istilah)
- Meski pakai nama "Reserve" tidak ada deposit emas samasekali di
the Fed! Hahaha .. tertipuuu ..
Ya sodara2, the Fed "mencetak" dollar dari awang2 dengan nilai
sesuka mereka, tanpa "jaminan" apa2. Tinggal "print" aja diatas
kertas yg keren dan tulisi saja berapa nilai nya. Dan tugas
pemerintah AS untuk membuat supaya orang percaya pada nilai dollar
tadi. Nilai dollar adalah persepsi pengguna-nya, bukan mencerminkan
nilai yang diwakili dalam angka yang tertera di dalamnya. Semakin
orang men-dewa kan UANG, makin kuat nilai nya.

Ini yang kemudian berlaku juga untuk mata UANG lain di seluruh
dunia. Nilai nya un-real, diserahkan pada "kepercayaan pasar", yang
hanya tercermin dalam angka2 yang bergerak pada layar monitor para
trader. UANG pun akhirnya menjadi sesuatu yang tidak nyata. Di dunia
nyata, kalau ada tuan tanah yang punya perkebunan luas, dan ternak
yang banyak, menerbitkan "surat hutang" pastilah lebih dipercaya
dibanding orang yang tidak punya kekayaan apa2. Di dunia kita yang
dibelenggu sistem moneter sekarang, negeri yang kekayaan-alam nya
demikan kaya ini, "bank notes"nya dianggap tidak berharga.

Jadi apa dong UANG itu sesungguhnya? Nothing. Bukan apa2. Hanya
selembar kertas yg ditulisi angka. Tidak ada jaminan apa2 di
dalamnya. Berbeda dengan ide "bank notes" diawal yang dijamin emas.
Lantas kenapa kita menganggap UANG memiliki NILAI? UANG sendiri
tidak memiliki nilai nyata kecuali harga kertas dan ongkos cetaknya.
Sesungguhnya NILAI UANG hanya muncul dalam pikiran2 kita. UANG tidak
memiliki nilai apa2 dan tidak bisa apa2 kecuali pikiran kita
memberikan nilai kepada UANG tadi. Jika Anda pergi ke suku terasing
yang tidak mengenal USD, untuk membeli sebuah parang dengan USD 1000
pun Anda tidak akan bisa.

Lebih jauh lagi, teknologi dewasa ini telah membuat sebagian besar
UANG saat ini tidak dalam bentuk fisik kertas atau logam, namun
sekedar dalam bentuk "DATA" di computer. Diperkirakan dewasa ini
hanya lebih-kurang 4% UANG ada dalam bentuk fisik. Jadi UANG hanya
sekedar data di komputer, yang nilai nya ada dalam pikiran kita.
Jadi masihkah kita mendewakan sesuatu yang bahkan tidak eksis dan
tidak memiliki nilai riil? (fr)

Sumber : Fauzi Rachmanto

Bunga Bank Sudah Tidak Menarik

Pada kesempatan kali ini saya hendak membahas mengenai
tingkat suku bunga tabungan bank. Agar lebih nyata,
artikel ini disertai dengan data real tingkat suku bunga
di beberapa bank swasta dan simulasi perhitungan nilai
saldo tabungan pada tiga bulan pertama.

Saya masih ingat ketika saya masih kecil, orang tua saya
selalu menganjurkan saya agar uang saya disimpan di bank.
Alasan utamanya adalah karena bank memberikan bunga. Jadi
jumlah tabungan saya akan bertambah terus... terus...
sehingga menjadi besar.

Setelah saya dewasa dan memasuki kuliah, dosen saya
mengajarkan mengenai konsep compounded interest (bunga
majemuk). Saya menjadi lebih mengerti mengapa jumlah uang
tabungan saya bisa bertambah besar di bank, serta bisa
mensimulasikan jumlah uang saya di masa mendatang.

Anggaplah sekarang saya memiliki uang lebih sebesar satu
juta rupiah. Dan saya menaruhnya ke dalam tabungan bank,
dimana bank tersebut berjanji akan memberikan bunga sebesar
6% per tahun. Dan bunga tersebut akan ditambahkan ke tabungan
saya setiap bulannya.

Mari kita simulasikan jumlah uang tabungan saya 3 bulan ke
depan.

=============================
Bulan ke Jumlah tabungan
=============================
0 Rp. 1.000.000,-
1 Rp. 1.005.000,-
2 Rp. 1.010.025,-
3 Rp. 1.015.075,-
=============================

Dari tabel diatas, kita bisa melihat jumlah tabungan saya.
Nilai awal yang saya setor ke bank adalah Rp. 1.000.000,-.
Pada bulan pertama, saya mendapatkan bunga sebesar Rp. 5.000,-
sehingga nilai tabungan saya naik menjadi Rp. 1.005.000,-.
Pada bulan kedua, bunga yang saya dapatkan sebelumnya ikut
berbunga sehingga nilai bunga saya naik menjadi Rp. 5.025,-.
Sementara jumlah tabungan saya meningkat menjadi Rp. 1.010.025,-.
Dan pada bulan ketiga jumlah tabungan saya menjadi
Rp. 1.015.075,-.

Singkat kata, "Jumlah tabungan saya semakin hari semakin
bertambah".

Begitulah idealnya tabungan yang selama ini diajarkan kepada
kita.

Sayangnya kondisi ini sudah tidak lagi relevan dengan kondisi
tabungan-tabungan yang ditawarkan oleh bank-bank, terutama
bank swasta. Kita ambil contoh salah satu bank swasta
terbesar, Bank Central Asia dengan produknya tabungan
Tahapan BCA. Kita bisa melihat di
http://www.klikbca.com/individual/silver/ind/rates.html?s=2
bahwa tingkat suku bunga tahapan BCA adalah sebagai berikut:

===========================================================
Nilai Tabungan Suku Bunga
===========================================================
< Rp. 500.000,- 0,00
>= Rp. 500.000,- - < Rp. 5.000.000,- 2,00
>= Rp.5.000.000,- - < Rp. 1.000.000.000,- 3,75
>= Rp. 1.000.000.000,- 4,75
===========================================================

Andaikata uang saya yang sebesar Rp. 1.000.000,- tersebut
saya masukkan ke tabungan Tahapan BCA, maka pada awal bulan
berikutnya saya akan mendapatkan bunga sebesar Rp.1.666,-.
Namun, saya juga dikenakan biaya administrasi sebesar
Rp. 7.500,- (tarif Silver). Jadi saldo tabungan saya pada
bulan pertama menjadi Rp. 994.166,-. Berikut adalah simulasi
jumlah tabungan saya untuk 3 bulan:

=============================
Bulan ke Jumlah tabungan
=============================
0 Rp. 1.000.000,-
1 Rp. 994.166,-
2 Rp. 988.323,-
3 Rp. 982.470,-
=============================

Berbeda dengan yang selama ini diajarkan pada kita, jumlah
tabungan saya semakin hari justru semakin BERKURANG. Hal ini
disebabkan oleh rendahnya tingkat suku bunga tabungan serta
tingginya biaya administrasi bulanan yang dikenakan oleh
bank kepada kita. Biaya administrasi nilainya lebih besar
daripada bunga, sehingga pada akhir bulan saldo tabungan
kita akan menjadi lebih kecil.

NB: Hasil simulasi ini akan sedikit berbeda dengan real karena
bank mempergunakan perhitungan bunga tabungan harian. Namun
hal ini tidak mempengaruhi kesimpulan dari simulasi.

Rasanya kurang adil jika kita hanya membahas bank BCA dalam
kesempatan ini. Sebagai bahan perbandingan, sekarang mari kita
lihat beberapa bank lainnya.

Bank swasta lain yang tidak kalah besarnya adalah Bank Mandiri,
dengan produk tabungan Mandiri. Tingkat suku bunga tabungan
Mandiri adalah sebagai berikut:

===========================================================
Nilai Tabungan Suku Bunga
===========================================================
< Rp. 500.000,- 0,00
>= Rp. 500.000,- - < Rp. 5.000.000,- 2,75
>= Rp.5.000.000,- - < Rp. 50.000.000,- 3,25
>= Rp.50.000.000,- - ===========================================================
(Sumber call center Mandiri 021-52997777)

Sementara biaya administratif bulanan yang dikenakan kepada
nasabah adalah Rp. 7.000,- untuk tabungan yang saldo akhir
bulannya bernilai > Rp. 300.000,-. Untuk tabungan dengan saldo
akhir bulan yang < Rp. 300.000,- dikenakan biaya administratif
sebesar Rp. 10.000,-. Untuk tabungan yang saldonya lebih kecil
dari Rp. 50.000,- akan dikenakan biaya tambahan sebesar
Rp. 5.000,-. Kalau saldonya lebih kecil dari Rp. 50.000,-
selama lebih dari 3 bulan berturut-turut akan dikenakan biaya
lebih mahal lagi, yaitu Rp. 25.000,-. Disini kita bisa melihat
bahwa semakin kecil nilai tabungan Anda, maka semakin besar
biaya administrasi yang harus Anda tanggung.
Sumber
http://www.bankmandiri.co.id/article/046447431477.asp?article_id=046447431477

Pada Bank Permata terdapat 2 jenis tabungan, yaitu
PermataTabungan, dan PermataTabungan OPTIMA. Untuk membatasi
ruang lingkup dari artikel ini, maka kita hanya membahas
PermataTabungan biasa. Tingkat suku bunga untuk Bank Permata
adalah:
==============================================================
Nilai Tabungan Suku Bunga
==============================================================
< Rp.1.000.000,- 0,00
>= Rp. 1.000.000,- - < Rp. 10.000.000,- 2,00
>= Rp. 10.000.000,- - < Rp. 100.000.000,- 3,25
>= Rp. 100.000.000,- - < Rp. 1.000.000,000,- 3,75
>= Rp. 1.000.000.000,- 4,00
==============================================================
(Sumber PermataTel 021-7456888)

Biaya administratif untuk PermataTabungan adalah sebesar
Rp. 5000.,- untuk saldo >= Rp. 500.000,- dan Rp. 7.500,-
untuk saldo yang < Rp. 500.000,-. Bagi pemegang kartu ATM
akan dikenakan biaya tambahan sebesar Rp. 2.500,-.
Sumber
http://www.bankpermata.com/prod_layanan/produk/liabilities/biaya_kartu_permatavisaelectron.asp

Untuk bank-bank yang disebutkan diatas, apabila Anda menyimpan
Rp. 1.000.000,- dalam produk tabungan maka pada bulan berikutnya
jumlah saldo tabungan Anda akan mengalami penurunan, bukan
kenaikan. Hal ini disebabkan karena biaya administrasi yang
lebih besar daripada bunga bulanan. Untuk mendapatkan nilai
tabungan yang meningkat cukup signifikan dari waktu ke waktu,
Anda perlu menyimpan setidaknya Rp. 10.000.000,-. Padahal
dengan uang sejumlah ini, Anda dapat membeli produk keuangan
lain yang tingkat suku bunganya jauh lebih tinggi.

Dari sini kita dapat melihat bahwa fungsi tabungan sudah
mengalami perubahan. Tujuan utama tabungan bukan lagi
untuk mendapatkan bunga, melainkan untuk mendapatkan
feature-feature lainnya seperti ATM (Anjungan Tunai Mandiri),
kartu debet, undian berhadiah, dan lain-lain.

Jadi apabila Anda hendak menabung dengan tujuan utama
mengejar bunga, tabungan biasa sudah tidak sesuai untuk
kebutuhan Anda. Cobalah mempelajari produk-produk keuangan
lain seperti deposito, reksa dana, unit-linked, dana pensiun
dan lain-lain. Terlebih lagi apabila Anda ingin mengejar
tujuan jangka panjang seperti pendidikan anak, ataupun
menyimpan dana untuk pensiun. Disini pengetahuan investasi
MUTLAK diperlukan.

Sumber: david@keuanganpribadi.com